Senin, 13 Oktober 2014

Kemiskinan Sikaya

Kaya tapi miskin (kebutuhan dasar sudah terlampaui, bahkan berkelimpahan, tapi mereka merasa miskin). Sesungguhnya mereka bukan miskin harta melainkan miskin kebahagiaan atau ketentraman hidup.
“The Poverty of Affluence” kemiskinan si kaya adalah judul buku karya Paul L Wachtel, penulis Amerika Serikat, tahun 1983. Buku ini merupakan potret psikologis dari cara hidup Amerika. Diungkapkan , ekonomi Amerika berorientasi pada pertumbuhan, pemujaan individualism dan keinginan tak henti untuk memiliki “lebih” dalam pekerjaan, hubungan, dan lingkup kehidupan yang tak pernah puas.
Fenomena hidup seperti itu menghinggapi kelas menengah Amerika dan dunia, tak terkecuali Indonesia. Jumlah kelas menengah Indonesia tahun 2013, mencapai 56,7 % dari jumlah penduduk sekitar 130 juta orang. “jika anda membelanjakan antara 20 ribu sampai 200 ribu / hari untuk keperluan hidup, berarti anda termasuk kelas ini”.
Kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang aktif dan membelanjakan penghasilannya untuk mengejar kepuasaan hidup. Kelas ini menjadi pelaku dan penyubur konsumerisme di bidang kulkiner, garmen, perumahan, transportasi. Mereka adalah pendorong pembukaan lapangan kerja yang sekaligus mereka menjadi produsen dan konsumen.
Naluri dasar manusia selalu terpuaskan tetapi tidak permanen, karena manusia selalu ingin “lebih” dan tak henti.
Hidup di era liberalisme, kapitalisme dan konsumerisme memanjakan keinginan atau nafsu. Industry kuliner misalnya: memanjakan lidah, mulut, perut. Dampaknya : obesitas dan berbagai penyakit. Tapi bersamaan itu industry obat dan jasa mengembangkan sebagai penangkal dan penyembuhannya. Ini berbeda dengan sabda rasulullah Muhammad SAW “ berhentilah makan sebelum kenyang”.
Untuk mengatasi ketidak puasan dinegara maju ada himbauan agar orang rileks, menikamati hidup, mengurangi bekerja dan memproduksi serta tidak bersaing dengan harapan dapat mengurangi kerusakan alam dan konflik. Seruan “slow down “ itu jelas tidak pas untuk kaum duafa dinegara berkembang. Mereka harus merdeka dulu dari jerat kebutuhan dasar hidup.
Miskin spiritual
mereka yang asyik memburu kenikmatan fisik sering melupakan kebutuhan spiritual. kelas mengah Amerika dan Eropa barat (1970) mempelajari spiritualisme dari Timur, khususnya india. Mereka sudah serba kecukupan, namun merasa kalah bahagia dengan guru-guru spiriyualitas yang tampak sederhana, mereka miskin secara spiritual.
Trend mempelajari spiritual dikalang muslim di Indionesia seperti mendirikan solat, berdoa, berdzikir, zakat dan sedekah, menolong sesama pergi haji atau umroh. Haji dan umroh  bersifat missal dan massif. Tak da yang salah dengan ini, selama itu dijalankan sebagai ibadah untuk meraih ridho Allah, jika untuk pamer maka pelakunya akan jatuh dalam ketidakpuasan dan penderitaan.

Islam mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang: kaya di dunia dan di akhirat. Pepatah jerman “lieber reich und gesund als arm und krank” (lebih baik kaya dan sehat dari pada miskin dan sakit).      


By : Boss Anggi

0 komentar:

Posting Komentar

  • KAMPUS KAMI

    Kampus umar usman bertujuan melahirkan para entrepreneur, orang - orang yang melahirkan usaha baru. Merujuk kepada salah satu hadist Rasulullah
  • Philanthropy

  • KONTAK KAMI

    Philanthropy Building
    Jl. Warung Jati Barat No. 14
    Jakarta Selatan Indonesia 12540
    Telp. (021) 78845924/25 or 0858 8853 8899
    Fax. (021) 7884 5926
    Pin BB : 2732D3A7
    WhatsApp : 0811 212 99 55