Kaya tapi miskin (kebutuhan dasar sudah terlampaui,
bahkan berkelimpahan, tapi mereka merasa miskin). Sesungguhnya mereka bukan
miskin harta melainkan miskin kebahagiaan atau ketentraman hidup.
“The Poverty of Affluence” kemiskinan si kaya adalah
judul buku karya Paul L Wachtel, penulis Amerika Serikat, tahun 1983. Buku ini
merupakan potret psikologis dari cara hidup Amerika. Diungkapkan , ekonomi
Amerika berorientasi pada pertumbuhan, pemujaan individualism dan keinginan tak
henti untuk memiliki “lebih” dalam pekerjaan, hubungan, dan lingkup kehidupan
yang tak pernah puas.
Fenomena hidup seperti itu menghinggapi kelas menengah
Amerika dan dunia, tak terkecuali Indonesia. Jumlah kelas menengah Indonesia
tahun 2013, mencapai 56,7 % dari jumlah penduduk sekitar 130 juta orang. “jika
anda membelanjakan antara 20 ribu sampai 200 ribu / hari untuk keperluan hidup,
berarti anda termasuk kelas ini”.
Kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang aktif dan
membelanjakan penghasilannya untuk mengejar kepuasaan hidup. Kelas ini menjadi
pelaku dan penyubur konsumerisme di bidang kulkiner, garmen, perumahan,
transportasi. Mereka adalah pendorong pembukaan lapangan kerja yang sekaligus
mereka menjadi produsen dan konsumen.
Naluri dasar manusia selalu terpuaskan tetapi tidak
permanen, karena manusia selalu ingin “lebih” dan tak henti.
Hidup di era liberalisme, kapitalisme dan konsumerisme
memanjakan keinginan atau nafsu. Industry kuliner misalnya: memanjakan lidah,
mulut, perut. Dampaknya : obesitas dan berbagai penyakit. Tapi bersamaan itu
industry obat dan jasa mengembangkan sebagai penangkal dan penyembuhannya. Ini
berbeda dengan sabda rasulullah Muhammad SAW “ berhentilah makan sebelum
kenyang”.
Untuk mengatasi ketidak puasan dinegara maju ada himbauan
agar orang rileks, menikamati hidup, mengurangi bekerja dan memproduksi serta
tidak bersaing dengan harapan dapat mengurangi kerusakan alam dan konflik.
Seruan “slow down “ itu jelas tidak pas untuk kaum duafa dinegara berkembang.
Mereka harus merdeka dulu dari jerat kebutuhan dasar hidup.
Miskin spiritual
mereka yang asyik memburu kenikmatan fisik sering
melupakan kebutuhan spiritual. kelas mengah Amerika dan Eropa barat (1970)
mempelajari spiritualisme dari Timur, khususnya india. Mereka sudah serba kecukupan,
namun merasa kalah bahagia dengan guru-guru spiriyualitas yang tampak
sederhana, mereka miskin secara spiritual.
Trend mempelajari spiritual dikalang muslim di Indionesia
seperti mendirikan solat, berdoa, berdzikir, zakat dan sedekah, menolong sesama
pergi haji atau umroh. Haji dan umroh
bersifat missal dan massif. Tak da yang salah dengan ini, selama itu
dijalankan sebagai ibadah untuk meraih ridho Allah, jika untuk pamer maka
pelakunya akan jatuh dalam ketidakpuasan dan penderitaan.
Islam mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang: kaya di
dunia dan di akhirat. Pepatah jerman “lieber reich und gesund als arm und
krank” (lebih baik kaya dan sehat dari pada miskin dan sakit).
By : Boss Anggi
By : Boss Anggi
0 komentar:
Posting Komentar